Jumat, 15 Agustus 2008

BERHIAS

Berhias disukai dan diminati oleh manusia karena berhias berarti keindahan dan jiwa manusia cenderung kepada keindahan, kecenderungan kepada keindahan ini dimiliki oleh laki-laki, di samping ia juga dimiliki oleh wanita. Suami berharap istrinya tetap menarik, membahagiakan jika dipandang, istri berharap suaminya berpenampilan baik sesuai dengan kelaki-lakiannya, hanya saja kecenderungan wanita lebih kepada menghiasi diri, sementara kecenderungan laki-laki lebih kepada menikmati perhiasan, dari sini maka tulisan ini lebih fokus kepada berhias dari sisi wanita atau istri.

Dalam lingkup rumah tangga berhiasnya seorang istri untuk suami merupakan perkara yang tidak patut disepelekan, hal ini karena tabiat suami sebagai laki-laki menyukai kecantikan dan keindahan, kalau dia tidak mendapatkan ini dari istri, lalu dari mana dia mendapatkannya. Dalam konteks membahagiakan suami dengan cara-cara yang tidak melanggar batas-batas agama bisa bernilai sebagai sebuah ibadah yang mulia, karena hal tersebut sebagai wujud kecintaan dan kataatan istri kepada suami.

Hukum berhias

Pada dasarnya berhias atau perhiasan dibolehkan, tidak dilarang kecuali apa yang dilarang oleh dalil, ia termasuk salah satu nikmat Allah kepada hamba-hambaNya, Allah telah mengingkari siapa pun yang mengharamkan perhiasan yang Dia sediakan untuk hamba-hambaNya.

Firman Allah, "Katakanlah, 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya dan (siapa pula yang mengharamkan) rizki yang baik?' Katakanlah, 'Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di Hari Kiamat." (Al-A'raf: 32).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Aku menyaksikan shalat Id bersama Nabi saw, beliau shalat sebelum khutbah… lalu Nabi saw mendatangi para wanita, beliau memerintahkan mereka bersedekah, maka mereka melemparkan cincin dan kalung dan Bilal menadahinya dengan kainnya."

Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/330 menyebutkan bahwa al-Bukhari meriwayatkan secara muallaq bahwa Aisyah mempunyai beberapa cincin emas, Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa riwayat ini diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Saad.

Demi siapa seorang istri berhias

Ladang ibadah seorang istri adalah suami, dari sini maka hendaknya apa yang dia lakukan pada dirinya adalah semata-mata demi suami termasuk berhias dan mempercantik diri, jika niat istri dalam berhias adalah demi suami maka hal tersebut bernilai ibadah, di samping itu istri tidak akan memperlihatkan perhiasan dirinya kepada orang lain, karena dia memang berhias hanya untuk suami semata bukan untuk orang lain.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Aisyah berkata, Rasulullah saw datang kepadaku sementara di tanganku terpasang gelang dari perak, beliau bertanya kepadaku, "Ini apa wahai Aisyah?" Aku menjawab, "Aku melakukannya dengan maksud berhias untukmu." Nabi saw bertanya, "Kamu menzakatinya?" Aku berkata, "Tidak, masya Allah." Nabi saw bersabda, "Ia adalah bagianmu dari neraka."

Kita melihat dalam hadits ini apa yang dilakukan oleh Aisyah dengan memakai gelang dari perak dalam rangka berhias demi suaminya yaitu Rasulullah saw dan beliau tidak mengingkarinya, yang beliau persoalkan dalam hadits di atas adalah sisi yang tidak berkait dengan pembicaraan kita yaitu zakat perhiasan.

Yang terjadi saat ini dan pada zaman ini adalah kebalikannya, seorang istri tidak hanya berhias untuk suaminya semata, akan tetapi di samping untuk suaminya, dia juga berhias untuk selain suami, bahkan sebagian istri tidak berhias untuk suami, tetapi justru berhias untuk orang lain, bukti dari hal ini adalah berhiasnya sebagian istri pada saat dia keluar rumah, sementara di dalam rumah, istri tidak memperhatikan dirinya, pakaiannya ala kadarnya dan rambutnya tidak tertata rapi, tidak masalah kalau suami sedang tidak di rumah, tetapi yang sering hal itu terjadi pada saat suami sedang berada di rumah, namun begitu ada acara di luar rumah, maka dia akan berdandan habis, untuk siapa? Jadi suami tidak meraih yang khusus dari istrinya, sebagian jatahnya diberikan kepada orang lain.

Kepada siapa wanita menampakkan perhiasannya

Kepada orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya, "Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (An-Nur: 31).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan siapa-siapa yang boleh melihat perhiasan seorang wanita, di samping suami yang memang berhak mendapatkan bagian terbesar dan terkhusus, ada pula para mahram dan orang-orang di mana terlihatnya perhiasan wanita kepada mereka tidak menimbulkan fitnah dan kerusakan.

Macam-macam perhiasan
Pada dasarnya berhias dan perhiasan terbagi menjadi dua; perhiasaan bawaan atau pemberian dan perhiasan buatan. Yang pertama berarti perhiasan yang sudah dibawa atau dimiliki oleh seorang wanita sebagai pemberian dari Allah seperti kecantikan wajah dan keindahan tubuh. Yang kedua berarti perhiasan yang dihasilkan dan dilakukan oleh seorang wanita dalam upaya menjaga dan menambah perhiasan yang pertama seperti pakaian, make up, perlengkapan perhiasan, emas, perak dan sebagainya.

Perhiasan pertama yang merupakan karunia ilahi, seorang wanita tidak memiliki upaya dalam bagian ini, karena ia merupakan jatah dari 'sana', maka dia harus menerimanya dengan rela, tidak perlu menggerutu dan meratapi jatah, lebih-lebih melakukan usaha-usaha merubah ciptaan Allah, tidak perlu, karena pada dasarnya Allah menciptakan kaum hawa ini dengan kecantikan dan keindahan, masing-masing memiliki porsi darinya yang sudah ditakar oleh sang Pemberi, di lain pihak penilaian terhadap kecantikan bersifat relatif dan yang penting bagi seorang wanita adalah suami, jika suami sendiri ma fi musykilah dan menerima bahkan memandangnya yang terbaik dan tercantik, maka hendaknya dia bersyukur, karena dia memang demikian walaupun hanya di mata suami, tetapi itu lebih dari cukup. Mau penilaian dari siapa? Orang lain? Tidak perlu, memang dia itu siapa?

Barangkali yang perlu dan bisa dilakukan adalah menjaga, banyak hal yang bisa dilakukan demi menjaga ini, misalnya menjaga makanan, makan makanan yang berimbang sehingga tubuh tetap langsing dan tidak melebar, makan sayur dan buah-buahan sehingga tubuh terlihat segar, minum jamu atau ramuan-ramuan tertentu, beristirahat yang cukup sehingga kesehatan terjaga, berolah raga sebatas yang diizinkan dan mungkin dilakukan, dan masih banyak lagi perkara-perkara yang bisa dilakukan demi menjaga perhiasan bawaan dan pemberian ilahi ini, tidak masalah selama motivasi istri dalam melakukannya adalah hanya untuk suami seorang.

Dari sisi penciptaan wanita sudah merupakan perhiasan, karena Allah menciptakan kaum Hawa dengan ciptaan yang berbeda dengan kaum Adam, jika kaum Adam diciptakan dengan kecenderungan kepada kekuatan dan kejantanan, maka kaum Hawa diciptakan dengan kelembutan dan kecantikan, perhiasan berarti keindahan dan kecantikan, jadi dari sisi penciptaan kaum Hawa sudah merupakan perhiasan. Namum demikian seorang wanita bisa dan boleh mempercantik dan memperindah diri dengan menggunakan sarana-sarana yang diizinkan secara syar'i dan dorongan melakukannya hanya demi suami seorang tidak lain.

Beberapa hal yang bisa dijadikan oleh seorang wanita untuk berhias

1- Kecerdikan dan kepintaran
, manusia bukan sekedar tongkrongan atau penampilan jasmani semata, tanpa akal yang cerdik, manusia hanyalah kumpulan dari daging, darah dan tulang, tidak berharga, kecerdikan dan kepintaran menghiasi diri manusia, mengangkat derajatnya, meningkatkan daya tawarnya, demikian pula dengan wanita, seorang laki-laki tidak memilih wanita sebatas pertimbangan jasad atau tubuh semata, walaupun di antara laki-laki ada yang seperti itu, tetapi itu tidak umum di samping keliru, hukum umum berlaku bahwa ada pertimbangan lain selain jasad yang membuat seorang laki-laki memutuskan memilih sorang wanita, pertimbangan tersebut adalah kecerdikan dan kepintaran, penulis yakin tidak sedikit kaum Adam lebih memilih wanita yang mungkin, dari sisi kecantikan dalam penilaian umum, biasa-biasa saja, padahal penilaian ini sering bersifat subyektif, tetapi dia memiliki nilai kepintaran dan kecerdikan lebih dibanding dengan wanita yang mungkin cantik mempesona tetapi dongok atau tulalit, akalnya pas-pasan, yang kalau diajak berbicara atau berkomunikasi atau diminta mengerjakan sesuatu selalu 'capek deh'.

Istri sebagai garda rumah tangga memikul tugas dan tanggung jawab yang tidak sepele atau remeh, tugasnya besar dan berat, tanggung jawabnya memerlukan akal dan kepandaian, kepandaian mengatur rumah tangga secara umum yang meliputi keuangan, suami, anak-anak dan lain-lainnya. Dalam perkara keuangan atau ekonomi misalnya, bisa jadi tiang rumah tangga tidak begitu besar dan kokoh, tetapi dengan kecerdikannya istri mampu mengolah tiang yang tidak seberapa besar ini sehingga ia mampu menopang pasak, rumah tangga pun aman dari sisi finansial. Dalam perkara hubungan antara dirinya sendiri dengan suami misalnya, terkadang atau bahkan sering terjadi kesalapahaman dan ketidakselarasan yang memicu konflik dan percekcokan, istri yang pandai bisa dan mampu keluar atau memberi solusi baik lagi bijak sehingga konflik tersebut berakhir dengan happy ending. Dalam hubungannya dengan anak-anak, sebagai sekolah pertama dan pendidik vital bagi mereka, ibu mutlak harus memiliki ilmu alias kepandaian, orang-orang Arab berkata, faqidus syai` la yu'thi, orang yang tidak memiliki tidak memberi, lha apa yang mau dia berikan sementara dia sendiri tidak memiliki.

Jika wanita-wanita tumbuh dalam kebodohan
Maka anak-anak menyusu kebodohan dan kedunguan


Istri-istri Rasulullah saw adalah wanita-wanita yang pandai lagi cerdik, Khadijah yang mendampingi beliau di awal-awal perjuangan dakwah, dukungannya memberikan ketenangan bagi beliau, kepandaiannya menghadirkan keteguhan bagi beliau, perkataannya yang cerdas merupakan suntikan moral dan dukungan spiritual yang memantapkan langkah beliau, ketika beliau berkeluh kesah kepadanya, "Aku takut terhadap diriku." Khadijah menjawab, "Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu, engkau berbicara benar, menyambung ikatan rahim, menunaikan amanat, memuliakan tamu dan membantu kesulitan dalam kebenaran." Tidak heran manakala Khadijah wafat, Rasulullah saw sangat kehilangan dan bersedih.

Setelah itu hadir Aisyah yang kepandaian dan ilmunya tidak diragukan, dia sebagai rujukan dan tempat bertannya orang-orang berilmu dari para sahabat dan tabiin pada masanya, ilmunya dari Rasulullah saw telah dinikmati oleh umat dalam skala yang besar, mustahil semua itu terwujud tanpa kecerdikan dan kecerdasan.

Hal sama pada istri-istri Rasulullah saw lainnya kemudian para wanita sahabat, salah satu contohnya adalah Asma` binti Umais, istri Ja'far bin Abu Thalib kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian Ali bin Abu Thalib, Asma` ini wanita cerdik, buktinya dia bersuamikan tiga orang mulia dari umat ini, salah satu bukti kecerdikannya adalah ketika Ali bin Abu Thalib menikahinya, kedua putranya Muhammad bin Ja'far dan Muhammad bin Abu Bakar saling membanggakan diri. Masing-masing berkata, "Aku lebih mulia darimu, bapakku lebih baik daripada bapakmu." Ali berkata kepada Asma', "Wahai Asma' kamu yang menjadi pengadil di antara mereka berdua." Asma' berkata, "Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik daripada Ja'far, dan aku tidak melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar." Ali berkata, "Kamu tidak menyisakan sedikit pun bagi kami. Seandainya kamu berkata lain niscaya aku akan memarahimu." Asma' berkata, "Sesungguhnya tiga orang di mana kamu adalah yang paling muda adalah orang-orang terpilih."

Jadi, diri Anda, wahai istri, adalah perhiasan bagi suami, Anda akan lebih menawan baginya jika Anda didukung dengan kepintaran dan kecerdikan.

2- Akhlak mulia

Akhlak mulia, perilaku baik dan perangai berbudi merupakan perhiasan bagi seseorang, betapapun tampan atau cantiknya seseorang secara fisik, jika yang bersangkutan tidak didukung dengan perkara yang satu ini, ketampanan atau kecantikannya tidaklah berarti, orang-orang cenderung menghindari seseorang yang berakhlak buruk meskipun dari sisi casing dia menawan dan menarik, mereka lebih melihat kepada perilaku dan pembawaan daripada melihat kepada tongkrongan, di samping itu pada saat ketampanan atau kecantikan ini sedikit demi sedikit memudar seiring dengan bertambahnya umur dan pada akhirnya hanya bekas yang tertinggal, pada saat itu kemuliaan akhlak dan keluhuran budi tetap eksis menghiasi pemiliknya.

Dalam konteks rumah tangga, berhiasnya anggota rumah tangga dengan perkara yang satu ini merupakan harga mati, tidak perlu ditawar, nilai positif dan input baiknya memberi dampak mulia dan berharga bagi rumah tangga, rumah menjadi tenang dan tenteram, yang terdengar adalah kata-kata baik, yang terlihat adalah sikap bijak, yang nampak adalah perlakuan luhur, semua ini membuat hubungan dan interksi di antara anggota keluarga berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya Anda sebagai istri misalnya, silakan membayangkan jika suami berperilaku buruk, berkata-kata tidak sopan, bertindak kasar kepada Anda atau kepada anak-anak, intinya dari sisi akhlak suami buruk, bayangkan bagaimana rumah tangga Anda? Atau sebaliknya sebagai suami, istri Anda demikian, Anda tidak melihat darinya selain sikap dan perilaku yang buruk, Anda tidak mendengar darinya selain kata-kata sampah, bagaimana interaksi Anda dengan dia? Bagaimana suasana dan kondisi yang ada di dalam rumah Anda? Penulis yakin walaupun rumah Anda lapang dan luas seluas lapangan bola atau bahkan lapangan golf, Anda pasti akan merasa sumpek dan sempit, penyebabnya tidak lain adalah keburukan akhlak penghuninya.


لِعَمْرِي مَا ضَاقَت البِلاَدُ بِأَهْلِهَا
وَلَكِنَّ أَخْلاَقَ الرِّجَالِ تَضِيْقُ

Aku bersumpah, suatu negeri tidak menjadi sempit oleh penghuninya
Akan tetapi yang menjadi sempit itu adalah akhlak manusianya.


Jika sebaik-baik orang beriman adalah orang dengan akhlak yang baik, maka orang yang paling berhak memperoleh kebaikan akhlak dari seorang mukmin dan mukminah adalah orang terdekatnya yaitu keluarganya.


أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ

"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah orang terbaik bagi keluarga mereka." (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah, at-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan shahih."diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan sanad hasan seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Arnauth dalam tahqiq Riyadhus Shalihin).


إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ

"Sesungguhnya orang mukmin yang terbaik akhlaknya dan terlembut bagi keluarganya termasuk ke dalam golongan orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Aisyah).

3- Pakaian

Pakaian tidak sebatas menutup apa yang tidak pantas untuk terlihat dari tubuh, tidak sebatas melindungi tubuh dari panas dan dingin, tidak sebatas membedakan manusia dengan hewan, tidak sebatas menunjukkan tingkat peradaban manusia, akan tetapi lebih dari itu pakaian bisa menjadi hiasan bagi pemakainya sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al-A'raf: 31). Allah menamakan pakaian dengan ziinah yang berarti perhiasan, jadi berpakaian berarti berhias.

Dalam lingkup rumah tangga berhiasnya seorang istri dengan pakaian yang baik, bersih dan harum bisa menenangkan pandangan suami, membetahkan suami untuk selalu berada di dekat istri, tetapi justru hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan istri, pada saat suami pulang atau pada saat suami berada di rumah, bukannya istri memperhatikan pakaian dan penampilannya, justru pakaian yang dipakainya tidak mengundang selera suami untuk memandang atau menikmatinya, ini tidak pada tempatnya, semestinya pada saat suami pulang atau pada saat dia berada di rumah, istri berhias dan salah satunya adalah dengan berpakaian yang bisa menjadikannya lebih menarik bagi suaminya.

Dari sisi syariat, pakaian istri di depan suami lebih longgar daripada pakaiannya di depan umum, di depan suami seorang istri bisa berpakaian semenarik mungkin dengan catatan tidak meniru pakaian orang-orang kafir dan fasik, bahan pakaiannya pun lebih longgar dibandingkan dengan laki-laki, pada saat laki-laki dilarang memakai sutera, wanita diizinkan memakainya, ini merupakan peluang yang patut dimanfaatkan oleh para istri demi membahagiakan dan menenangkan suami.

4- Bersih diri

Bersih diri merupakan sarana berhias yang tidak kalah penting karena berhias identik dengan kebaikan dan keindahan yang tidak akan terwujud tanpa bersih diri, bersih diri mutlak dibutuhkan, sebaik dan seindah apapun sesuatu tidak akan menarik kalau ia kotor, secantik apapun Anda sebagai istri tidak akan menarik suami jika Anda tidak bersih diri. Penulis telah memaparkan 'kebersihan suami istri' sebelumnya, oleh karena itu penulis tidak berpanjang lebar di sini, pembaca bisa merujuknya di link yang sama.

(by : Izzudin Karimi _ Alsofwah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda memberi komentar dengan menggunakan gambar-gambar diatas, dengan cara copy paste saja karakter di sampingnya dan selanjutnya menuliskan komentar. Komentar boleh memuji, mencela atau kedua-duanya asal tidak SARA.

Jika ingin komentar anda tidak dipublikasi, silahkan klik disini

Masih kesulitan juga membuat komentar? silahkan klik disini